A. PENTINGNYA SOSIALISASI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1. PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap
pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan
seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana
sikap-sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai
metreka dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan
tertentu.
Greenstein dalam karyanya “International Encyolopedia of The Social Sciences” 2 definisi sosialisasi politik:
a. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi
politik yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh
badan-badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab
ini.
b. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha
mempelajari politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun
terencana pada setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya
tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara
nominal belajat bersikap non politik mengenai
karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan
seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola
tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa
kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa.
Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
a. Tingkat Komunitas
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu
sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan
keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
b.Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami
sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik
mereka.
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang
pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif,
sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek
ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya
pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang
sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang
proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya
merupakan proses penekanan
2. METODE SOSIALISASI POLITIK ( oleh Rush dan Althoff)
1. Imitasi
Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi
penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa,
imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga
satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi.
2. Instruksi
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya.
3. Motivasi
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang
cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and
error).
Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman,
sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada
umumnya.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati
diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan
tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses
sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian
hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian
politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses
pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan
isinya bersifat politik.
Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
1. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses sosialisasi politik secara
eksplisitdalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam
hubungna-hubungan dan pemuasan-pemuasan interpersonal.
2. Magang
Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan
pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non
politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya
dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik.
3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek
politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap
politik terentu.
Proses sosialisasi langsung terjadi melalui:
1) Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami
anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara
sadar dan secara tidak sadar.
2) Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang
diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang yang berharap suatu
ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau posisi social
yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan
pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
3) Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh
“socialiers” daripada oleh individu yang disosialisasi. Pendidikan
politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembaga-lembaga politik
atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak
terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian
suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi
minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat
memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus
memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah
dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik
pemerintahan dapat terpelihara.
4) Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini
sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan
pengalamn-pengalamannya didalam proses politik.
3. SARANA SOSIALISASI POLITIK
1. Keluarga
Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga
memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang
paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang
kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat
otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan
hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga
dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya
kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya
lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah
dewasa.
2. Sekolah
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui
kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan
kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang
kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik.
Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap
aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat
mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan
symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap
system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi
melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui
berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan
berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
3. Kelompok Pertemanan (Pergaulan)
Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi
politik selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa.
Takott Parson menyatakan kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen
sosialisasi politik yang sangat penting pada masa anak-anak berada di
sekolah menengah atas. Selama periode ini, orang tua dan guru-guru
sekolah sebagai figur otoritas pemberi transmitter proses belajar
sosial, kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya peranan kelompok-kelompok
klik, gang-gang remaja dan kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi
semakin penting. Pengaruh sosialisasi yang penting dari kelompok
pertemanan bersumber di dalam factor-faktor yang membuat peranan
keluarga menjadi sangat penting dalam sosialisasi politik yaitu:
a. Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok pertemanan terhadap anggota mereka.
b. Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di dalamnya.
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
a. Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting dari informasi
dan sikap-sikpa tentang dunia social dan politik. Kelompok pertemanan
berfungsi sebagai “communication channels”.
b. Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi politik sangat
penting karena ia melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi politik
yang lebih khusus tentang dunia politik.
c. Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau menekan mereka
untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang diterima
oleh kelompok. Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu untuk
menerima orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara
mengancam memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan
terhadap norma-norma keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh
perhatian kepad amereka yang menyimpang.
4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi formal maupun non formal yang dibentuk
berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat buruh, klub social dan
yang sejenisnya merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan
yang jelas.
5. Media Massa
Media massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan
internet memegang peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan
nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan
infoprmasi tentang informasi-informasi politik, media massa juga
menyampaika nilai-nili utama yang dianut oleh masyarakatnya.
6. Kontak-kontak Politik Langsung
Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang
telah ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang
diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong,
mengalami etidakadilan, atau teraniaya oleh militer, maka pandangan
terhadap dunia politik sangat mungkin berubah.
4. PERANAN PARTAI POLITIK DALAM SOSIALISASI BUDAYA POLITIK
A. PENGERTIAN PARTAI POLITIK
Di bawah mi disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik:
Carl J. Fredirch, mendefinisikan partai politik adalah:
“Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan pengawasan terhadap pemerintah bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan pengawasan mi memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material” (a political
party is a group of human beings stability organized with the objective
of giving to members of the party, trough such control ideal and
material benefits and advantages.
Raymond Garfield Gettel memberi batasan bahwa:
“Partai politik terdiri dan sekelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan
yang dengan memakai kekuasaan memilih bertujuan mengawasi pemerintahan
dan melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party of a group of
citizens, more or less organized who act s political unit and who, by
the use of their voting power and to control the government and carry
out their general polingles.
Menurut George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah:
“Sekelompok orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam
jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure
control ‘f government morder to puts program in to effect and it member
in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
“Organisasi dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk
menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan dengan satu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda” (a political party terniiculate
organization of society as active political agent those who are
conserned with the control of the governmental power and who compete for
popular support with another group holding divergent view).’2
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh
Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
“Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak
terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party
is a group of citizen more or less organized, who act as a political
unit and who, bay the use of their voting power, aim to control the
government and carry out their general politicies). 13
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi
nilai-nilai dan citacita yang sama.
Menurut George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah:
“Sekelompok orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam
jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure
control ‘f government morder to puts program in to effect and it member
in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
“Organisasi dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk
menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan dengan satu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda” (a political party terniiculate
organization of society as active political agent those who are
conserned with the control of the governmental power and who compete for
popular support with another group holding divergent view).’2
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh
Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
“Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak
terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party
is a group of citizen more or less organized, who act as a political
unit and who, bay the use of their voting power, aim to control the
government and carry out their general politicies). 13
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi
nilai-nilai dan citacita yang sama.
B. MACAM – MACAM PARTAI POLITIK
Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:
1. Partai Massa,
dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang
banyak. Meskipun demikian, parta jenis ini memiliki program walaupun
program tersebut agak kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini
cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung
dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan kepentingan
kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak
terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri;
2. Partai Kader,
kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya
untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena
memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan
disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan
ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang
menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.
(Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal
Fasyah; Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November 2005, Depok.
Halaman 567-568)
Sedangkan tipologi berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap
ideologi dan kepentingan, menurut Ichlasul Amal terdapat lima jenis
partai politik, yakni:
1. Partai Proto,
adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan
seperti dewasa ini. Ciri yang paling menonjol partai ini adalah
pembedaan antara kelompok anggota atau “ins” dengan non-anggota “outs”.
Selebihnya partai ini belum menunjukkan ciri sebagai partai politik
dalam pengertian modern. Karena itu sesungguhnya partai ini adalah faksi
yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi masyarakat;
2. Partai Kader,
merupakan perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan
partai ini terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas.
Akibatnya, ideologi yang dianut partai ini adalah konservatisme ekstrim
atau maksimal reformis moderat;
3. Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga
dianggap sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan
hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih
tersebut. Partai massa berorientasi pada pendukungnya yang luas,
misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi cukup
jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup
rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;
4. Partai Diktatorial,
sebenarnya merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki
ideologi yang lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai
melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap pengurus bawahan maupun
anggota partai. Rekrutmen anggota partai dilakukan secara lebih selektif
daripada partai massa;
5. Partai Catch-all,
merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah
Catch-all pertama kali di kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk
memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik.
Catch-all dapat diartikan sebagai “menampung kelompok-kelompok sosial
sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Tujuan utama partai ini
adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan
keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang kaku
(Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996)
Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi tiga macam yaitu;
1. Partai Para Pemuka Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu
ketat, yang pada umumnya tidak dipimpin secara sentral ataupun
profesional, dan yang pada kesempatan tertentu sebelum pemilihan anggota
parlemen mendukung kandidat-kandidat tertentu untuk memperoleh suatu
mandat;
2. Partai Massa, sebagai jawaban terhadap tuntutan sosial dalam
masyarakat industrial, maka dibentuklah partai-partai yang besar dengan
banyak anggota dengan tujuan utama mengumpulkan kekuatan yang cukup
besar untuk dapat membuat terobosan dan mempengaruhi pemerintah dan
masyarakat, serta “mempertanyakan kekuasaan”;
3. Partai Kader, partai ini muncul sebagai partai jenis baru dengan
berdasar pada Lenin. Mereka dapat dikenali berdasarkan organisasinya
yang ketat, juga karena mereka termasuk kader/kelompok orang terlatih
yang personilnya terbatas. Mereka berpegangan pada satu ideologi
tertentu, dan terus menerus melakukan pembaharuan melalui sebuah
pembersihan yang berkseninambungan.
C. SISTEM KEPARTAIAN
Sistem kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat
stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem
kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu
negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama,
ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan
kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah
partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan,
turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya,
tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh
para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak
dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam
sistem politik.
Sistem partai di Negara manapun dalam suatu jangka waktu tertentu
memiliki persamaan – persamaan dan perbedaan – perbedaan sistem yaitu;
- sistem partai pluralistis
- sistem partai dominant
D. SYARAT – SYARAT PENDIRIAN PARTAI POLITIK
1. Partai politik harus didirikan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang
warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
2. Dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.
3. Pendirian Partai Politik harus disertai dengan akta notaris. Dalam akta
notaris tersebut harus memuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran
Rumah Tangga (ART) serta kepengurusan partai politik tingkat pusat.
4. Anggaran Dasar (AD) partai politik memuat paling sedikit:
a. asas dan ciri partai politik;
b. visi dan misi partai politik
c. nama, lambang, dan tanda gambar partai politik;
d. tujuan dan fungsi partai politik;
e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. kepengurusan partai politik;
g. peraturan dan keputusan partai politik;
h. pendidikan politik; dan
i. keuangan partai politik
4. Kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan.
5. Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota
disusun dengan memperhatikan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) keterwakilan perempuan yang diatur dalam AD dan ART partai
politik masing-masing.
E. TUJUAN PARTAI POLITIK
Tujuan umum Partai Politik adalah :
a. Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
c. Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para
anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
F. FUNGSI PARTAI POLITIK
Adapun fungsi partai politik, menurut Sigmund Neumann (1981), ada 4 (empat) yaitu :
1. fungsi agregasi.
Partai menggabungkan dan mengarahkan kehendak umum masyarakat yang
kacau. Sering kali masyarakat merasakan dampak negatif suatu kebijakan
pemerintah, misalnya kenaikan BBM di Indonesia 1 Oktober 2005 lalu yang
demikian tinggi. Namun ketidakpuasan mereka kadang diungkapkan dengan
berbagai ekspresi yang tidak jelas dan bersifat sporadis. Maka partai
mengagregasikan berbagai reaksi dan pendapat masyarakat itu menjadi
suatu kehendak umum yang terfokus dan terumuskan dengan baik.
2. fungsi edukasi.
Partai mendidik masyarakat agar memahami politik dan mempunyai
kesadaran politik berdasarkan ideologi partai. Tujuannya adalah
mengikutsertakan masyarakat dalam politik sedemikian sehingga partai
mendapat dukungan masyarakat. Cara yang ditempuh misalnya dengan memberi
penerangan atau agitasi menyangkut kebijakan negara serta menjelaskan
arah mana yang diinginkan partai agar masyarakat turut terlibat
perjuangan politik partai.
3. fungsi artikulasi.
Partai merumuskan dan menyuarakan (mengartikulasikan) berbagai
kepentingan masyarakat menjadi suatu usulan kebijakan yang disampaikan
kepada pemerintah agar dijadikan suatu kebijakan umum (public policy).
Fungsi ini sangat dipengaruhi oleh jumlah kader suatu partai, karena
fungsi ini mengharuskan partai terjun ke masyarakat dalam segala
tingkatan dan lapisan. Bila fungsi ini dilakukan ditambah dengan fungsi
edukasi, ia akan menjadi komunikasi dan sosialisasi politik yang sangat
efektif dari partai yang selanjutnya akan menjadi lem perekat antara
partai dan massa.
4. fungsi rekrutmen.
Ini berarti partai melakukan upaya rekrutmen, baik rekrutmen politik
dalam arti mendudukan kader partai ke dalam parlemen yang menjalankan
peran legislasi dan koreksi maupun ke dalam lembaga-lembaga
pemerintahan, maupun rekrutmen partai dalam arti menarik individu
masyarakat untuk menjadi kader baru ke dalam partai. Rekrutmen politik
dilakukan dengan jalan mengikuti pemilihan umum dalam segala tahapannya
hingga proses pembentukan kekuasaan. Karenanya, fungsi ini sering
disebut juga fungsi representasi.
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut:
(a) Representatif (perwakilan), (b) Konvensi dan Agregasi, (c) Integrasi
(partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), (d) Persuasi, (e) Represi, (f)
Rekrutmen, (g) Pemilihan pemimpin, (h) Pertimbangan-pertimbangan, (i)
Perumusan kebijakan, serta (j) Kontrol terhadap pemerintah. (Macridis :
dalam buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik.
Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988).
G. HAK PARTAI POLITIK
- Perlakuan sama adil, sederajat dari negara
- Mengatur RTO secara mandiri
- Ikut pemilu
- Mencalonkan pres & wapres dll.
H. KEWAJIBAN PARTAI POLITIK
- Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945
- Menjaga keutuhan NKRI
- Menjunjung tinggi hukum, demokrasi, HAM
- Menyukseskan PEMILU dan Pembangunan dll.
B. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Partisipasi secara harafiah berarti
keikutsertaan,
dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga
dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik
tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang
telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi
maka istilah yang tepat adalah
mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan
kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian
keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan
keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran
deliberative democracy
atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara
lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang
terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 – 60 %).
Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam
proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu
datang dengan konsep
deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada
dukungan
yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh
para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin
“Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan
membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing”. Sebaliknya jarang
kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama
pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
- Rezim otoriter – warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
- Rezim patrimonial – warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya.
- Rezim partisipatif – warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
- Rezim demokratis – warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.
1. PENYEBAB TIMBULNYA GERAKAN KEARAH PARTISIPASI POLITIK
Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke
arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan
masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang
berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting
dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide
demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum
mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar
elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan
kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan
membantu memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi,
dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering
merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan
kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
2. JENIS – JENIS PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh
demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil
demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat
stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan
untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya,
alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga
tak punya keleluasaan untuk otonom dari jari-jemari kekuasaan dan tak
ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara
yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi
galib disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang meningkat tajam,
dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang
bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam
menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi
politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik
terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana
prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh
semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya,
prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota
masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye.
Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana
tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut
mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen
partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya
dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap
masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau
ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun
partai dengan cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik
seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya,
menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari
protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi,
dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
1. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai
kegiatan. Biasanya dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas
melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita
waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali
jumlahnya dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan
sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis
politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok
kepentingan.
Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik
masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum
berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya
adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak
pilihnya ( voter turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak
memilih seluruhnya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara –
Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member
suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari
pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan
lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti
organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
2. Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di Negara otoriter seperti komunis, partisipasi masa diakui
kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat.
Tetapi tujuan yang utama dari partisipasi massa dalam masa pendek adalah
untuk merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern
dan produktif. Hal ini memerlukan pengarahan yang ketat dari monopoli
partai politik.
Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum dinilai dapat
memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim
otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka
tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system pemilihan di
Negara otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi,
terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang
diperebutkan, dan para calon tersebut harus melampaui suatu proses
penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai komunis.
Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat di bina melalui
organisasi – organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan buruh,
serta organisasi – organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat
potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi
yang bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat
intensif dan luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi
ada unsur mobilisasi partisipasi di dalamnya karena bentuk dan
intensitas partisipasi ditentukan oleh partai.
Di Negara – Negara otoriter yang sudah mapan seperti China menghadapi
dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang
dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang diharapkan.
Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada
bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu
stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada
saat itu dicetuskannya gerakan “Kampanye Seratus Bunga” yaitu dimana
masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran
kontrol ini tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang
disuarakan dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi
tragedy Tiananmen Square pada tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa
kehilangan nyawanya dalam bentrokan dengan aparat, dan akhirnya
pemerintah memperketat kontrol kembali.
3. Partisipasi Politik di Negara Berkembang
Negara berkembang adalah negara – Negara baru yang ingin cepat
mengadakan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya dari Negara
maju. Hal ini dilakukan karena menurut mereka berhasil atau tidaknya
pembangunan itu tergantung dari partisipasi rakyat. Peran sertanya
masyarakat dapat menolong penanganan masalah – masalah yang timbul dari
perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, agama dan sebagainya.
Pembentukan identitas nasional dan loyalitas diharapkan dapat menunjang
pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir
dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini
terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya
kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu
terjadi di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa
Negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah
bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak
partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu
menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Partisipasi Politik Masyarakat
1. Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor Politik
Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada
politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik.
Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual
maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu
konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan
rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika
(Surbakti, 1992:119)
.
b. Kesadaran Politik.
Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan
masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik
diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian
terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22).
c. Pengetahuan Masyarakat terhadap
Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses
pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan
yang akan diambil (RamlanSurbakti 1992:196).
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.
Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek
kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan
mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik
(Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan
publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi
politik,
memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang
merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk
meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan
analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan
agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber
kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum.
Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan,
kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan
interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya
(K. Manullang dan Gitting,1993:13).
4. Faktor Nilai Budaya
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau
civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya
adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau
peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi, 1995). Faktor
nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
3. BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Budaya politik
partisipan dicirikan dengan adanya orientasi yang tinggi terhadap semua
objek politik, baik objek umum, input, output serta pribadinya sendiri
selaku warga negara.
Pelaksanaan budaya politik partisipan juga dapat diterapkan oleh seorang pelajar dilingkungan sekolahnya.